![]() |
| Pengacara Kondang Toraja, Jerib Rakno Talebong, S.H., M.H. |
TANA TORAJA, DUPLIKNEWS.COM – Di tengah kondisi sosial masyarakat Toraja yang masih bergulat dengan persoalan ekonomi, ketimpangan akses tanah dan lemahnya perlindungan terhadap warga kecil, rencana pengesahan Peraturan Daerah (Perda) Adat di Toraja justru menuai kritik keras, Senin (15/12/2025).
Pengacara kondang Toraja, Jerib Rakno Talebong, SH., MH (JRT), kepada redaksi dupliknews.com membeberkan bahwa perda tersebut berpotensi memperlebar jurang konflik dan menambah beban sosial masyarakat Toraja.
JRT menyampaikan kekhawatirannya bahwa perda adat, jika tidak dirumuskan secara hati-hati, justru akan menjadi alat legitimasi kekuasaan segelintir elit adat, sementara masyarakat kecil kembali menjadi pihak yang paling terdampak.
“Di kondisi hari ini, ketika masyarakat sedang berjuang mempertahankan hidup dan tempat tinggalnya, jangan sampai negara justru menghadirkan aturan yang menambah rasa takut dan ketidakpastian,” ujar JRT.
Dirinya tidak menolak nilai-nilai adat Toraja, JRT justru mendukung perlindungan tongkonan dan simbol-simbol budaya Toraja melalui perda. Namun, ia mengingatkan bahwa persoalan tanah tidak bisa diserahkan sepenuhnya pada tafsir adat karena memiliki konsekuensi hukum dan sosial yang sangat luas.
“Tongkonan itu simbol, identitas dan warisan budaya. Tapi tanah itu soal hidup orang banyak. Kalau tanah diatur lewat perda adat, itu bisa menjadi bom waktu,” tegasnya.
Menurut JRT, pengalaman di berbagai daerah menunjukkan bahwa klaim tanah adat sering kali hanya menguntungkan segelintir orang yang merasa lebih tinggi kedudukannya, sementara mayoritas warga tidak memiliki ruang untuk membela diri.
Ia mencontohkan, bagaimana suatu kawasan hutan, gunung atau lahan produktif bisa saja ditunjuk sepihak sebagai wilayah adat oleh penguasa kampung atau elite tertentu. Ketika itu terjadi, perda adat akan menjadi dasar hukum untuk mengklaim dan menyingkirkan pihak lain.
“Bayangkan masyarakat yang sudah puluhan tahun tinggal dan berkebun di suatu tempat, tiba-tiba dianggap menempati tanah adat yang bukan miliknya. Lalu mereka diminta pergi. Ini bukan cerita fiksi, ini potensi nyata,” kata JRT.
Lebih jauh, ia menyoroti risiko diskriminasi struktural jika status adat dijadikan dasar penguasaan wilayah. Menurutnya, warga yang tidak berasal dari garis bangsawan atau keluarga adat tertentu akan berada dalam posisi paling rentan.
“Kalau satu wilayah dinyatakan tanah adat dan yang tinggal di situ bukan bagian dari bangsawan, apakah mereka harus angkat kaki? Negara tidak boleh diam dalam situasi seperti ini,” ujarnya.
JRT menilai, dasar gugatan tanah adat yang dikaitkan dengan keberadaan tongkonan dan struktur adat sangat rawan memicu konflik berkepanjangan, baik antarwarga, antar-keluarga, maupun antara masyarakat dan pemerintah.
“Jangan sampai perda adat ini hanya melahirkan ketakutan baru, menambah tangisan warga kecil dan memperkuat kekuasaan segelintir orang hingga melahirkan diskriminasi sosial yang dilegalkan,” tegasnya.
Sebagai jalan tengah, JRT mendorong pemerintah daerah dan DPRD agar lebih bijak dalam merumuskan perda. Ia menekankan bahwa perda adat seharusnya hadir untuk melindungi budaya, bukan untuk menguasai tanah.
“Masukkan tongkonan, masukkan simbol-simbol Toraja. Tapi jangan jadikan perda adat sebagai alat penguasaan tanah. Kalau itu dipaksakan, yang menikmati hanya segelintir orang, sementara masyarakat luas menanggung dampaknya,” pungkas JRT.
Red.

