Opini Oleh: Advokat Leo Tallu Paotongan Massora, SH., MH.
TORAJA UTARA, DUPLIKNEWS.COM - Maraknya kasus eksekusi rumah adat Tongkonan di Toraja Utara beberapa waktu terakhir memunculkan banyak kegelisahan di Masyarakat. Saya perlu menegaskan sejak awal, saya tidak dalam posisi berpihak pada pihak penggugat maupun tergugat. Putusan pengadilan adalah produk hukum yang harus dihormati. Namun, sebagai praktisi hukum, saya merasa perlu memberi masukan terkait cara eksekusi yang dilakukan.
Kepastian Hukum adalah Hak Konstitusional
Undang-Undang Dasar 1945 dengan tegas memberikan jaminan bahwa setiap warga negara berhak atas kepastian hukum. Sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1): “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Artinya, siapa pun yang memenangkan perkara di pengadilan berhak menuntut agar putusan itu dilaksanakan. Hal ini adalah konsekuensi logis dari prinsip negara hukum yang kita anut.
Tongkonan dalam Perspektif Budaya dan Konstitusi
Namun, di Toraja (Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara) kita dihadapkan pada kenyataan lain. Tongkonan bukan sekadar bangunan fisik. Ia adalah simbol identitas, rumah asal-usul, pusat kekerabatan, bahkan telah diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia.
Di sinilah letak dilemanya. Konstitusi kita tidak hanya bicara tentang kepastian hukum, tetapi juga tentang perlindungan budaya. Pasal 32 UUD 1945 menegaskan bahwa negara harus menjamin masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.
Dengan demikian, pelaksanaan eksekusi tongkonan seharusnya memperhatikan kedua amanat konstitusi ini: kepastian hukum sekaligus perlindungan budaya.
Cara Eksekusi Harus Humanis
Saya mengkritisi pola eksekusi yang menggunakan alat berat untuk merobohkan tongkonan. Cara seperti ini, selain meninggalkan luka sosial, juga memberi preseden buruk. Saya justru mendorong agar pihak yang kalah secara hukum bersikap kooperatif: mengosongkan objek sengketa setelah ada pemberitahuan resmi, bahkan membongkar sendiri bangunannya.
Dengan demikian, tidak terjadi gesekan di lapangan, tidak ada provokasi dari pihak-pihak tertentu dan marwah Tongkonan tetap dihormati meskipun perkara hukum telah dimenangkan oleh pihak lain.
Potensi Penyalahgunaan
Perlu diingat, jika praktik eksekusi tongkonan terus menimbulkan masalah, hal ini bisa dimanfaatkan oleh oknum. Bisa saja ada pihak yang sengaja membangun tongkonan di atas tanah bermasalah, dengan keyakinan bahwa bila kalah pun akan sulit dieksekusi. Ini adalah celah hukum sekaligus ancaman bagi wibawa pengadilan.
Regulasi Perlindungan Tongkonan
Menurut saya, salah satu jalan keluar adalah membangun regulasi khusus. Pemerintah, DPR, Lembaga Adat dan Tokoh Masyarakat perlu duduk bersama merumuskan aturan yang melindungi tongkonan tanpa mengabaikan kepastian hukum.
Regulasi tersebut bisa berupa Peraturan Daerah, atau minimal kesepakatan formal antara Pemerintah dan Lembaga Adat, yang menegaskan tata cara eksekusi objek sengketa yang di atasnya berdiri rumah adat Toraja.
Saya ingin menegaskan, saya tidak berada dalam posisi mendukung pihak tergugat ataupun penggugat. Saya berdiri pada posisi hukum, namun juga tidak menutup mata terhadap nilai budaya.
Eksekusi tongkonan tidak boleh dibiarkan menjadi polemik berkepanjangan. Kita perlu mencari jalan tengah agar kepastian hukum tetap ditegakkan, namun marwah tongkonan sebagai warisan dunia juga tetap terjaga.
Toraja harus menjadi contoh bagaimana hukum positif dan hukum adat bisa berjalan beriringan. Itu adalah tantangan kita bersama hari ini.
Opini Oleh: Advokat Leo Tallu Paotongan Massora, SH., MH.
Leo Massora, SH., MH bukan sekadar pengacara di Toraja, tetapi juga seorang praktisi hukum yang memahami denyut nadi masyarakat adat. Baginya, hukum tidak hanya soal teks undang-undang, melainkan juga soal keadilan sosial dan penghormatan terhadap budaya. Lewat pandangan kritisnya, Leo berupaya menjembatani hukum positif dengan kearifan lokal, terutama dalam kasus-kasus yang menyentuh tongkonan, simbol warisan Toraja yang dijunjung tinggi.